Budi pekerti menjadi karakter luhur bangsa Indonesia. Di setiap suku
ada bentuk kearifan lokal yang menjadi pranata sosial dalam pergaulan
masyarakat. Kearifan lokal berupa budi pekeri diwariskan dari generasi ke
generasi melalui berbagai media yang berkembang seiring kemajuan masyarakatnya.
Keunggulan budi pekerti itu menjadi ciri khas yang tersohor ke seantero dunia.
Namun kearifan lokal yang sempat menjadi kebanggaan, kini menjadi
barang langka. Sikap saling menghormati dan tepo
seliro kini makin luntur. Akibatnya banyak terjadi kejahatan, kecurangan
terjadi di berbagai tempat. Salah
satu bentuk kecurangan yang kini merajalela adalah korupsi. Tanpa malu-malu lagi orang mengambil sesuatu yang bukan haknya. Asal
ada kesempatan, punya kuasa, niat buruk itu terlaksana.
Organisasi Fund for Peace
merilis indeks terbaru mereka mengenai
Failed State Index 2012 di mana Indonesia berada di posisi 63. Sementara
negara nomor 1 yang dianggap gagal adalah Somalia. Penelitian ini menggunakan
indikator dan sub indikator, salah satunya indeks persepsi korupsi. Dalam
penjelasan mereka, dari 182 negara, Indonesia berada di urutan 100 untuk urusan
indeks korupsi tersebut. Indonesia hanya berbeda 82 dari negara paling korup
berdasarkan indeks lembaga ini, Somalia.
Ternyata kerusakan moral bukan hanya hilang dari para pemegang kuasa yang notabene orang dewasa,generasi muda pun tak kalah parahnya. Hampir setiap hari terdengar berita pemerkosaan,
perkelahian peredaran video mesum dan sebagainya yang membuat miris siapa pun
yang membacanya. Kasus yang
akhir-akhir ini sering kita saksikan beritanya di media massa adalah tentang
penyalahgunaan narkotika dan zat-zat berbahaya lainnya. Coba tilik hasil survei
BNN dengan Universitas Indonesia dan juga universitas lain. Tahun 2005
persentase prevelensinya 1,7 persen dari seluruh Indonesia. Lalu tahun 2008
naik menjadi 1,99 persen. Kemudian tahun 2011 menjadi 2,2 persen, dan
diperkirakan hingga tahun 2015 terus naik menjadi 2,8 persen, atau sekitar 5,8
hingga 6 juta jiwa.
Apa penyebab semua ini? Jika di telaah jauh memang ada banyak sekali sebab. Dan dari
sekian banyak sebab, salah satunya adalah hilangnya rasa malu, takut dan
sungkan, khususnya malu takut dan sungkan berbuat yang tidak baik. Rasa malu dan takut serta sungkan ketika akan
mengambil sesuatu yang bukan haknya, sudah hilang. Bahkan saat mereka sudah
ketahuan. Lihat saja ekpresi mereka di media massa. Wajah mereka tidak
menyiratkan malu dan bersalah meskipun sudah dijadikan sebagai tersangka sebuah
kasus korupsi. Orang jawa sering mengatakan, “wong ra nduwe isin!”. Sungguh
miris memang. Lantas apa yang sebaiknya masyarakat lakukan
melihat kondisi ini?
Mau tidak mau masyarakat harus saling bahu
membahu mengatasi kondisi yang sudah sedemikian terpuruk ini. Salah satu yang
bisa dilakukan adalah dengan langkah-langkah pencegahan pada orang-orang
terdekat. Anak-anak kita harus kita ajari budi pekerti yang baik. Hal ini selaras dengan penemuan atas penelitian yang dilakukan oleh Hidred
Geertz seorang antropolog Amerika, yang
ditulis dalam buku “The Javanese Family” yang ditulis pada Tahun 1982. Meskipun diteliti sudah lebih dari 30 tahun yang lalu, akan tetapi penelitian ini masih sangat relevan kita gunakan. Hasil penelitian ini salah satunya
mengungkapkan tentang bagaimana cara masyarakat Jawa menanamkan budi pekerti
pada anak-anaknya. Geertz (1982) mengungkapkan ada tiga hal yang ditanamkan masyarakat Jawa
pada anak-anaknya dalam rangka membentuk karakter. Ketiga hal itu adalah wedi, isin, dan sungkan.
Wedi berarti takut, baik dalam arti jasmani
maupun dalam arti sosial terhadap kecemasan atas akibat-akibat tidak
menyenangkan dari suatu tindakan. Isin
bisa diterjemahkan sebagai malu, enggan, canggung. Malu untuk melanggar aturan dan berbuat dosa. Malu untuk mencuri uang
Negara. Malu kepada masyarakat yang uangnya diambil. Malu jika nantinya diri
dan keluarganya akan menanggung malu. Malu jika nantinya wartawan akan
menguber-ngubernya kemana-mana. Malu jika hakim mencebloskannya ke dalam sel
tahanan. Sedangkan sungkan, seperti isin hanya tanpa
adanya rasa takut berbuat kesalahan. Isin akan menjadi bentuk pengendalian didi
dan menghindari celaan, sungkan mampu memainkan langgam sosial dengan indah.
Anak-anak jawa diajar tentang bagaimana dan bilamana harus wedi dan isin. Allah swt. wajib ditakuti bukan karena menakutkan, melainkan
karena kewajiban kita berkhidmat sebagai hamba kepada penciptanya. Sang Maha
Pencipta akan mengawasi dan menilai gerak-gerik hamba-Nya. Namun, disisi lain
kita sebagai hamba-Nya mengharapkan penilaian terbaik sehingga menghasilkan
balasan terbaik juga, yaitu sukses dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kita pun
takut melakukan hal-hal yang berbau maksiat karena akan menjauhkan kita dari
kasih sayang dan pertolongan Allah swt.Mereka dipuji karena sikap yang wedi
kepada orang tua dan sikapnya yang isin
terhadap orang-orang yang lebih dari dirinya. Mereka pertama-tama belajar wedi sebelum merekan siap memberikan
tanggapan intern yang berbeda-beda dan menyangkut harga diri dan pengenalan yang berbeda-beda mengenai
perbedaan sosial. Ketika mereka besar, isin
diajukan kepadanya, pertama-tama dengan memobilisasi rekasi–reaksi wedi yang sudah terpolakan kemudian
dengan memainkan harga diri yang berkembang melalui mempermalukan dengan
senangnya.
Nilai-nilai kejawen
mengenai rumusan ketaatan itu ditanamkan secara berangsur-angsur. Dimulai dari mengenalkan wedi, isin, dan akhirnya sungkan.
Wedi berbuat jahat karena diketahui oleh Yang Maha Melihat. Isin berbuat curang
karena menciderai rasa keadilan, dan sungkan melakukan hal-hal yang tidak
pantas karena diketahui sesamanya.
Apabila dilaksanakan dengan baik, nilai-nilai isin, wedi dan sungkan
akan membawa sikap pengendalian diri yang baik untuk tidak berbuat yang melanggar etika,
curang, culas dan perbuatan tidak baik lainnya. Sudah waktunya orang tua mengajarkan isin, wedi, dan sungkan pada
anak-anaknya sehingga saat dewasa kelak
mereka akan mempunyai jati diri dan tidak tergoda untuk berbuat culas. Malu dan
takut menunjukkan kebaikan memang tidak baik, akan tetapi malu takut dan
sungkan berbuat baik tentu menjadi hal yang sangat memprihatinkan.